Dalam kajian filsafat, permasalahan skeptiszme dibagi menjadi dua yaitu: rasionalisme dan empirisme. Pada sub bahasan ini akan dijabarkan pengertian rasionalisme dan empirisme. Pertama, rasionalisme berasal dari saduran bahasa Inggris rationalism. Secara etimologi, kata ini berakar dari bahasa Latin ratio yang berarti “akal” (Bagus, 2002). Dalam konteks yang lebih luas, akar dari makna rasionalisme merujuk pada satu pandangan, dimana berpegang “akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran”. Rasionalisme dipahami menurut kaumnya sebagai satu pernyataan aksioma dasar yang digunakan untuk membangun sistem pemikiran yang diturunkan dari “ide (idea)”. Ide yang dimaksud harus jelas, tegas, dan pasti berasal dari pemikiran manusia (James, 2010; Kattsoff, 2004).
Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide, karena ide berasal dari akal. Akal mampu membawa manusia kepada satu titik pengetahuan yang sebenarnya (tidak mungkin salah). Demikian, ide sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia (Magnis, 2002). Kaum rasionalis mengenal berdalil bahwa pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada (Susanto, 2011). Oleh karena itu, jika prinsip itu tidak ada, maka manusia (orang) tidak mampu menggambarkannya. Dalil ini adalah sesuatu yang a priori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut (Tjahjadi, 2004).
Berdasarkan perkembangannya, pandangan ini dipaparkan oleh berbagai tokoh dengan ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis seperti Plato sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai “Rasionalisme atau PlatonismeRené Descartes (1590 – 1650) dengan semboyanyang terkenal adalah “cotigo ergo sum” (saya bepikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J. Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723 – 1790), Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza (Asmoro, 2005; Roger, 1986).
Kedua, empirisme berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata ini berakar pada makna yang diambil dari bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk” (Bagus, 2002). Empirisme merupakan satu pandangan dimana pengetahuan keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera. Paham ini menjadi titik balik dari pandangan rasionalisme, dimana Plato berpendapat bahwa “yang ditangkap panca indera hanyalah dunia gejala, yang semu, yang tidak nyata dan tidak sempurna” (Kattsoff, 2004).
Kaum empiris memaparkan bahawa pengetahuan yang pasti benar adalah pengetahuan indrawi, pengetahuan empiris. Panca indera memainkan peranan terpenting dibandingkan dengan akal budi karena, Pertama, semua proposisi yang kita ucapkan merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman. Kedua, kita tidak bisa punya konsep atau ide apa pun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi jika punya acuan ke realitas atau pengalaman (Akhmadi, 2007; Honer & Hunt, 2003).
John Locke dalam bukunya “An Essay Corcerning Human Understanding” dipaparkan bahwa semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia, sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia. Konsep atau ide-ide ini diperoleh dari pancaindra atau dari refleksi atas apa yang diberikan oleh pancaindra. Jiwa manusia adalah tabula rasa, maka kalau kita punya konsep atau ide tertentu tentang dunia ini, itu harus dianggap sebagai ide yang keliru. Terdapat dua macam ide menurut Locke yakni ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana ditangkap melalui panca indera secara langsung (spontan). Melalui akal ide sederhana memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang diberikan pancaindra, dan seterusnya, sehingga lahirlah refleksi yang memungkinkan adanya ide-ide yang lebih kompleks.
Locke menyimpulkan bahwa ide sederhana tidak bisa keliru sedangkan ide-ide kompleks bisa saja keliru. Tokoh lain dari kaum empiris adalah David Hume. David Hume melalui bukunya yang berjudul “An Enquiry Concerning Human Understanding” memaparkan pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal. Melalui naluri ilmiah manusia, manusia bisa mencapai kepastian-kepastian yang memungkinkan pengetahuan manusia. Terdapat dua proses mental dalam diri manusia (Honer & Hunt, 2003).
Pertama, adalah kesan (impresi), yang merupakan semua macam pencerapan pancaindra yang lebih hidupdan bersifat langsung. Kedua, pemikiran atau ide yang kurang hidup dan kurang bersifat langsung. Impresi memunculkan ide sederhana dari objek yang kita tangkap dengan pancaindra secara langsung yang selanjutnya akal budi manusia mampu melahirkan ide majemuk yang tidak kita tangkap melalui pancaindra. David Hume memberikan satu sintesis yang sama dengan paparan John Locke bahwa pengalaman mampu membawa manusia kepada satu pengetahuan yang baru. Berikut tabel perbedaan pandangan rasionalisme dan emipirisme.
No comments:
Post a Comment