Pandemi Covid-19 membawa dampak besar dalam kehidupan manusia di dunia, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah meningkatnya angka pernikahan dini diberbagai wilayah di Indonesia seperti yang dilansir dalam berbagai berita di media massa dan media online, seperti yang dilansir media www.kompas.com dan https://yoursay.suara.com bahwa ada peningkatan pernikahan perempuan di bawah usia 18 tahun dan persentasenya sebesar 60%. Hal ini disebabkan pengangguran merajalela, PHK, himpitan ekonomi. Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan anak-anak sehingga pilihan untuk menikahkan anak-anak perempuan dianggap sebagai solusi terbaik untuk mengurangi tanggungan keluarga. Kondisi ini sangat miris dan lagi-lagi perempuan menjadi korban dan harus menghapus mimpi besarnya untuk mengubah hidup lebih layak.
Permasalahan lain, pernikahan diri pada
masa covid-19 juga dikaitkan dengan pergaulan bebas, minimnya pantauan orang
tua terhadap perkembangan anaknya. Tidak semua belajar dari rumah atau belajar
daring dimanfaatkan oleh anak untuk betul-betul belajar, sehingga terjerumus
dalam hubungan terlarang diluar pernikahan. Sehingga orang tua tidak punya
pilihan selain menikahkan anaknya dibawah umur. Bagi perempuan sejak itu
perannya sebagai istri dan nantinya sebagai ibu akan dijalani dengan minim
pengetahuan dan pedidikan. Menurut Simone de Beauvoir bahwa sebuah lembaga
pernikahan masih berlaku anggapan bahwa suami adalah pelindung istrinya, namun
kenyataan dalam kehidupan berumah tangga sendiri sering terjadi kekerasan
terhadap istri, sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat gerak gerik istri masih
terus diawasi hingga sangat detail dan masa depan istri dimanupulasi sesuai
keinginan dan kehendak suami.
Penulis melihat dengan jelas dilapangan
tentang apa yang digambarkan oleh Simone de Beauvoir, setelah menamatkan
Sekolah Dasar tidak melanjutkan pendidikan karena masa pandemi Covid-19
pendapatan orangtua sebagai penjual makanan di sebuah SD di pedalaman Indonesia,
terpaksa tidak melanjutkan pendidikan anaknya dan si Anak sepertinya juga tidak
terlalu bersemangat untuk sekolah karena bermain dengan temannya lebih menarik
dibandingkan harus belajar. Si Anak juga sudah berteman khusus dengan laki-laki
dewasa yang rajin bekerja. Tidak butuh waktu lama gadis malang ini menikah
dengan laki-laki yang menjadi pilihannya atas dukungan penuh orangtuanya. “Aahh
andai Ibu guru Leni menjadi pengajar di SD ini, tidak akan ada anak yang putus
sekolah dan menikah dengan begitu cepat”. Anak-anak akan berjuang dengan
semangat tinggi agar tetap bisa melanjutkan pendidikan dengan berbagai cara dan
juga berjuang meyakinkan orangtuanya bahwa pendidikan sangat penting untuk masa
depan mereka.
Penikahan dini selama Covid-19 juga terjadi
di berbagai belahan dunia, seperti yang dialami Muskaan (15), ia mengaku
dipaksa orangtuanya untuk menikahi tetangganya yang berusia 21 tahun. Ibu dan
Ayah Muskaan merupakan pembersih jalan di Kota Varanasi, India yang memiliki
enam orang anak yang harus dinafkahi. “Orang tua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya
berjuang untuk menolaknya tapi pada akhirnya saya harus menyerah,” jelas Muskaan
sambil menangis dan pasrah. Kemudian kasus lain adalah yang dijelaskan Jha, ia khawatir
kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak
memilki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina. “Ketakutan terbesar
yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin mejadi dekat dengan anak
laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil.
Mengutip
dari buku Pedagogi Kreatif “Perempuan harus berpendidikan, memiliki
keterampilan, kreativitas dan siap menjadi pendidik utama dalam keluarganya
kelak”. Pernyataan menjadi lemah pada masa pandemi Covid-19 karena pada kenyataannya
puluhan ribu perempuan di bawah umur dinikahkan dengan berbagai kasus sehingga
menjadi perempuan berpendidikan dalam tanda kutip perempuan yang mengenyam
pendidikan formal tidak memiliki harapan lagi. Pemahaman dan kesadaran bahwa
pernikahan dini bukan solusi terbaik untuk memperbaiki taraf kehidupanj
nampaknya semakin sulit untuk didengungkan pada sebagian anak dan orang tua di
negeri ini.
Tidak
salah Simone de Beauvoir menolak keras eksploitasi terhadap perempuan lewat
berbagai karyanya dan paling terkenal The
Second Sex atau perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Perempuan dianggap
sebagai objek dan laki-laki adalah subjeknya. Dalam
teorinya Simone de Beauvoir juga mengkaitkan fakta biologis yang membentuk
proses kejiwaan seorang wanita yang antara lain disebabkan oleh faktor hormon
dan peran reproduksinya yang sangat berpengaruh besar terhadap emosinya
sehingga menciptakan banyak anggapan bahwa wanita memiliki masalah psikologis,
meski begitu Simone de Beauvoir menolak anggapan-anggapan yang mengakibatkan
konsep wanita dijadikan menjadi semacam produk personalitas yang mekanis.
Selain itu, Simone de Beauvoir menganggap bahwa yang menjadi penyebab utama
perkembangan-perkembangan kaum wanita adalah dalam perkembangan hidupnya kaum
wanita sejak dini telah disosialisasikan sedemikian rupa sehingga kehilangan
identitas dirinya seperti yang sejak kecil diberikan boneka dibandingkan dengan
mainanmobil-mobilan ataupun mainan yang lain.
Simone de Beauvoir berpendapat bahwa
dengan melarang kaum wanita bekerjadi luar rumah maka hal ini juga berarti
menghalangi pencarian jati diri dan kebahagiaankaum wanita. Wanita sebaiknya
dibiarkan menghadapi dunia dengan kekuatannya sendiri hingga lama-kelamaan
sifat ketidakmandiriannya hilang secara berangsur-angsur. Simone de Beauvoir
juga berpendapat bahwa upaya menyetarakan kaum wanita dengan kaum pria tidak
akan berjalan dengan baik jika tidak ada dukungan dari masyarakat sekitar.
Selain itu terdapat ungkapan dari Simone de Beauvoir yang sangat terkenal,
cukup kontroversial, dan mengundang banyak reaksi yakni ‘On ne saĆ®t pas femme,
on ledevient’ (Orang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi
perempuan). Ungkapannya tersebut dianggap sebagai deklarasi kemerdekaan kaum
wanita akandominasi para kaum pria dalam masyarakat terutama dalam bidang
politik dan pemerintahan.
Dalam perkembangannya anak perempuan telah disosialisasikan untuk menerima, menunggu, bahkan bergantung. Mereka percaya bahwa nantinya akan ada seorang pria yang datang untuk menyelamatkan hidupnya dan melindunginya untuk selamanya seperti dalam cerita dongeng maupun mitos masyarakat. Dari hal tersebut Simone de Beauvoir mengungkapkan bahwa unsur ketergantungan wanita tidak hanya bersumber dari mitos masyarakat saja, namun terlalu banyak faktor kehidupan di dalam sejarah yang tidak memungkinkan wanita untuk mandiri.
No comments:
Post a Comment