Wednesday, July 6, 2022

PANDEMI COVID-19, PEREMPUAN DAN PERNIKAHAN DINI: (ANALISIS PEMIKIRAN SIMONE DE BEAUVOIR)



Pandemi Covid-19 membawa dampak besar dalam kehidupan manusia di dunia, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah meningkatnya angka pernikahan dini diberbagai wilayah di Indonesia seperti yang dilansir dalam berbagai berita di media massa dan media online, seperti yang dilansir media www.kompas.com dan  https://yoursay.suara.com bahwa ada peningkatan pernikahan perempuan di bawah usia 18 tahun dan persentasenya sebesar 60%. Hal ini disebabkan pengangguran merajalela, PHK, himpitan ekonomi. Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan anak-anak sehingga pilihan untuk menikahkan anak-anak perempuan dianggap sebagai solusi terbaik untuk mengurangi tanggungan keluarga. Kondisi ini sangat miris dan lagi-lagi perempuan menjadi korban dan harus menghapus mimpi besarnya untuk mengubah hidup lebih layak.

Permasalahan lain, pernikahan diri pada masa covid-19 juga dikaitkan dengan pergaulan bebas, minimnya pantauan orang tua terhadap perkembangan anaknya. Tidak semua belajar dari rumah atau belajar daring dimanfaatkan oleh anak untuk betul-betul belajar, sehingga terjerumus dalam hubungan terlarang diluar pernikahan. Sehingga orang tua tidak punya pilihan selain menikahkan anaknya dibawah umur. Bagi perempuan sejak itu perannya sebagai istri dan nantinya sebagai ibu akan dijalani dengan minim pengetahuan dan pedidikan. Menurut Simone de Beauvoir bahwa sebuah lembaga pernikahan masih berlaku anggapan bahwa suami adalah pelindung istrinya, namun kenyataan dalam kehidupan berumah tangga sendiri sering terjadi kekerasan terhadap istri, sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat gerak gerik istri masih terus diawasi hingga sangat detail dan masa depan istri dimanupulasi sesuai keinginan dan kehendak suami.

Penulis melihat dengan jelas dilapangan tentang apa yang digambarkan oleh Simone de Beauvoir, setelah menamatkan Sekolah Dasar tidak melanjutkan pendidikan karena masa pandemi Covid-19 pendapatan orangtua sebagai penjual makanan di sebuah SD di pedalaman Indonesia, terpaksa tidak melanjutkan pendidikan anaknya dan si Anak sepertinya juga tidak terlalu bersemangat untuk sekolah karena bermain dengan temannya lebih menarik dibandingkan harus belajar. Si Anak juga sudah berteman khusus dengan laki-laki dewasa yang rajin bekerja. Tidak butuh waktu lama gadis malang ini menikah dengan laki-laki yang menjadi pilihannya atas dukungan penuh orangtuanya. “Aahh andai Ibu guru Leni menjadi pengajar di SD ini, tidak akan ada anak yang putus sekolah dan menikah dengan begitu cepat”. Anak-anak akan berjuang dengan semangat tinggi agar tetap bisa melanjutkan pendidikan dengan berbagai cara dan juga berjuang meyakinkan orangtuanya bahwa pendidikan sangat penting untuk masa depan mereka.

Penikahan dini selama Covid-19 juga terjadi di berbagai belahan dunia, seperti yang dialami Muskaan (15), ia mengaku dipaksa orangtuanya untuk menikahi tetangganya yang berusia 21 tahun. Ibu dan Ayah Muskaan merupakan pembersih jalan di Kota Varanasi, India yang memiliki enam orang anak yang harus dinafkahi. “Orang tua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya berjuang untuk menolaknya tapi pada akhirnya saya harus menyerah,” jelas Muskaan sambil menangis dan pasrah. Kemudian kasus lain adalah yang dijelaskan Jha, ia khawatir kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak memilki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina. “Ketakutan terbesar yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin mejadi dekat dengan anak laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil.

Mengutip dari buku Pedagogi Kreatif “Perempuan harus berpendidikan, memiliki keterampilan, kreativitas dan siap menjadi pendidik utama dalam keluarganya kelak”. Pernyataan menjadi lemah pada masa pandemi Covid-19 karena pada kenyataannya puluhan ribu perempuan di bawah umur dinikahkan dengan berbagai kasus sehingga menjadi perempuan berpendidikan dalam tanda kutip perempuan yang mengenyam pendidikan formal tidak memiliki harapan lagi. Pemahaman dan kesadaran bahwa pernikahan dini bukan solusi terbaik untuk memperbaiki taraf kehidupanj nampaknya semakin sulit untuk didengungkan pada sebagian anak dan orang tua di negeri ini.

Tidak salah Simone de Beauvoir menolak keras eksploitasi terhadap perempuan lewat berbagai karyanya dan paling terkenal The Second Sex atau perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Perempuan dianggap sebagai objek dan laki-laki adalah subjeknya. Dalam teorinya Simone de Beauvoir juga mengkaitkan fakta biologis yang membentuk proses kejiwaan seorang wanita yang antara lain disebabkan oleh faktor hormon dan peran reproduksinya yang sangat berpengaruh besar terhadap emosinya sehingga menciptakan banyak anggapan bahwa wanita memiliki masalah psikologis, meski begitu Simone de Beauvoir menolak anggapan-anggapan yang mengakibatkan konsep wanita dijadikan menjadi semacam produk personalitas yang mekanis. Selain itu, Simone de Beauvoir menganggap bahwa yang menjadi penyebab utama perkembangan-perkembangan kaum wanita adalah dalam perkembangan hidupnya kaum wanita sejak dini telah disosialisasikan sedemikian rupa sehingga kehilangan identitas dirinya seperti yang sejak kecil diberikan boneka dibandingkan dengan mainanmobil-mobilan ataupun mainan yang lain.

Simone de Beauvoir berpendapat bahwa dengan melarang kaum wanita bekerjadi luar rumah maka hal ini juga berarti menghalangi pencarian jati diri dan kebahagiaankaum wanita. Wanita sebaiknya dibiarkan menghadapi dunia dengan kekuatannya sendiri hingga lama-kelamaan sifat ketidakmandiriannya hilang secara berangsur-angsur. Simone de Beauvoir juga berpendapat bahwa upaya menyetarakan kaum wanita dengan kaum pria tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada dukungan dari masyarakat sekitar. Selain itu terdapat ungkapan dari Simone de Beauvoir yang sangat terkenal, cukup kontroversial, dan mengundang banyak reaksi yakni ‘On ne saĆ®t pas femme, on ledevient’ (Orang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan). Ungkapannya tersebut dianggap sebagai deklarasi kemerdekaan kaum wanita akandominasi para kaum pria dalam masyarakat terutama dalam bidang politik dan pemerintahan.

Dalam perkembangannya anak perempuan telah disosialisasikan untuk menerima, menunggu, bahkan bergantung. Mereka percaya bahwa nantinya akan ada seorang pria yang datang untuk menyelamatkan hidupnya dan melindunginya untuk selamanya seperti dalam cerita dongeng maupun mitos masyarakat. Dari hal tersebut Simone de Beauvoir mengungkapkan bahwa unsur ketergantungan wanita tidak hanya bersumber dari mitos masyarakat saja, namun terlalu banyak faktor kehidupan di dalam sejarah yang tidak memungkinkan wanita untuk mandiri.


No comments:

Post a Comment

PENDIDIKAN IPS SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER

  Pengertian dan Hakikat Nilai 1.      Pengertian Nilai Nilai merupakan sebuah dasar atau tolak ukur dalam bertingkah laku, bersikap dan...