Saturday, July 23, 2022

RESENSI BUKU: SOCIETY 5.0: A People – Centric Super – Smart Society (Hitachi-UTokyo Laboratory (H-UTokyo Lab))

 

 


Identitas Buku

Judul        : Society 5.0: A People-Centric Super-smart Society

Penulis     : Hitachi-Utokyo Laboratory

Penerbit   : Springer Open.

Edition     : Pertama, 2020

Halaman  : 177

 

PENDAHULUAN

Perkembangan Masyarakat dunia telah menghadapi empat perubahan besar dalam teknologi dari revolusi industri (IR-1.0) tenaga listrik menjadi IR-2.0 revolusi industri entitas mekanik dan kimia, IR-3.0 revolusi industri komputer dan internet, dan revolusi industri IR 4.0 transformasi digital, internet, dan big data. Sementara itu, peradaban manusia telah bertransformasi secara sosial dan ekonomi dari masyarakat pemburu (1.0) menjadi masyarakat agraris (2.0), masyarakat industri (3.0), dan masyarakat informasi (4.0). Masyarakat dunia saat ini sedang bergerak menuju masyarakat dengan peradaban terbaru yang disebut society 5.0 seiring dengan terganggunya tatanan sosial secara masif akibat teknologi 4.0.

 

Society 5.0 merupakan gagasan Pemerintah Jepang tentang kehidupan masyarakat di masa depan. Tahun 2016 Pemerintah Jepang menerbitkan Rencana Dasar Teknologi tentang Society 5.0 atau Masyarakat 5.0 bahwa dengan penggabungan ruang fisik (dunia nyata) dan dunia maya dengan memanfaatkan Teknologi Informasi Komputer (TIK) semaksimal mungkin akan mempermudah permasalahan-permasalahn yang dihadapi oleh manusia.

Dalam Rencana Dasar Teknologi tersebut pemerintah Jepang memiliki visi masa depan yakni: Society 5.0 menjadi masyarakat yang harus kita cita-citakan, akan menjadi sebuah masyarakat yang berpusat pada manusia itu sendiri, melalui tingkat penggabungan tingkat tinggi antar dunia maya dan ruang fisik, akan mampu menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan resolusi masalah sosial dengan menyediakan barang dan jasa yang secara terperinci menangani banyak hal kebutuhan lainnya,  terlepas dari warga lokal, usia, jenis kelamin, atau bahasa untuk memastikan bahwa semua warga bisa menjalani hidup berkualitas tinggi, hidup penuh kenyamanan dan vitalitas.

Buku ini ditulis oleh anggota tim proyek Lab H-Utokyo serta para akademisi dari University of Tokyo yang berjudul “Society 5.0: A People – Centric Super – Smart Society” berjumlah 177 halaman dan dibagi ke dalam 8 bab. Berikut sub bahasan pada tiap bab:

  1. What Is Society ?: Berisikan tentang pemikiran umum dibalik Society 5.0 dan daftar nomenklatur yang relevan.
  2. Habit Innovation: Membahas tentang kesepakatan dengan pertanyaan tentang bagaimana kita dapat menyeimbangkan apa yang terbaik untuk masyarakat dengan yang terbaik untuk individu, sebuah pertanyaan yang harus dijawab jika kita ingin mengatasi masalah sosial di bawah kerangka Society 5.0. 
  3. From Smart City to Society 5.0:  Berfokus pada perkembangan di abad ini. Secara khusus  menganalisis kebangkitan kota pintar, meninjau upaya Jepang untuk mengembangkan kota berkelanjutan, dan membahas bagaimana hal-hal ini terkait dengan Society 5.0. 
  4. Integrating Urban Data with Urban Services: Membahas datarisasi perkotaan, persyaratan penting untuk bangunan dunia maya. Ini juga membahas metode dan tantangan dalam mengintegrasikan data dan sistem yang berbeda.
  5. Solving Social Issues Through Industry–Academia Collaboration: Berfokus pada pekerjaan peneliti dari bidang teknik. Bab ini membahas bagaimana para peneliti tersebut mengejar R&D, juga membahas pemikiran dasar yang mendasari proyek penelitian yang bertujuan menangani masalah sosial, termasuk yang terkait dengan populasi, kebutuhan untuk menjadi bebas karbon, dan kebutuhan untuk meregenerasi masyarakat pedesaan.
  6. From Monetary to Nonmonetary Society: Berfokus pada peneliti di bidang humaniora dan ilmu sosial. Yaitu mengidentifikasi tantangan utama dalam mengejar model masyarakat dan memperoleh kemungkinan pendekatan untuk tujuan seperti itu,  juga mengkaji apa yang dimaksud dengan masyarakat yang berpusat pada orang.
  7. Interview: Creating Knowledge Collaboratively to Forge a Richer Society Tomorrow—An Innovation Ecosystem to Spearhead Social Transformation: Menampilkan dialog antara Makoto Gonokami, Presiden University of Tokyo, dan Hiroaki Nakanishi, Ketua Hitachi. Kedua pemimpin mendiskusikan kemungkinan Society 5.0 dan arah yang akan dituju.
  8. Issues and Outlook: Merangkum tantangan yang kita hadapi dalam perjalanan menuju Society 5.0 dan prospek untuk mencapai visi ini.

           

RINGKASAN (URAIAN) BUKU

            Sebagaimana dipaparkan pada bagian pendahuluan bahwa buku ini terdiri dari 8 bab pembahasan. Setiap pembahasan memiliki fokus yang berbeda namun saling berkaitan bab per bab. Sebelum membuat ringkasan pada buku ini saya memberikan sedikit gambaran tentang proyek Lab H-Utokyo dan University of Tokyo. Hitachi-UTokyo Laboratory (H-UTokyo Lab.) telah mempelopori model kolaborasi industri-akademisi yang dikenal dengan Society 5.0.

What Is Society: bab ini menjelaskan apa itu Society 5.0. Penjelasannya dengan menggunakan konsep-konsep kunci dari masyarakat 5.0: “masyarakat yang berpusat pada manusia”, “penggabungan dunia maya dengan ruang fisik”, “masyarakat intensif pengetahuan”, dan “masyarakat berbasis data. ” Memahami keempat konsep menjadi dasar penggagasan ide Society 5.0. Bab ini juga membahas tentang perbedaan Society 5.0 dan Industry 4.0, yang merupakan salah satu visi terkemuka untuk merevolusi industri melalui integrasi Teknologi Informasi. Sedangkan Society 5.0 berupaya merevolusi tidak hanya industri melalui integrasi Teknologi Informasi tetapi juga ruang hidup dan kebiasaan masyarakat.

Habit Innovation: Bab 2 ini membahas tentang indikator kinerja utama (KPI) penyelesaian masalah sosial dan masyarakat yang berpusat pada manusia itu sendiri. Pendekatan yang digunakan adalah Habitat Inovasi yang mengusulkan tiga komponen KPI untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat: (1) Transformasi struktural, (2) Inovasi teknologi, (3) kualitas hidup. Transformasi struktural memerlukan peran pemerintah untuk membuat kebijakan tentang integrasi kerangka kerja Ruang Fisik dan Dunia Maya. Komponen Inovasi teknologi, menggambarkan kerangka kerja konvergensi siber-fisik dapat membantu menciptakan masyarakat yang hemat sumber daya. Sedangkan komponen Kualitas hidup, menyebarkan data untuk menghasilkan layanan baru untuk mendukung kualitas hidup manusia yang lebih baik.

From Smart City to Society 5.0: Bab ini mengulas sejarah proyek ”Smart City” dan “Smart Community” yang dilaksanakan di kota-kota Jepang sejak pemerintah nasional Jepang berinisiatif melalui subsidi dan dukungan untuk proyek percontohan yang dipromosikan oleh kotamadya mengikuti Protokol Kyoto. Teknologi ini meninjau dari smart grid, microgrid, dan rumah pintar yang dibuat dengan mengintegrasikan Teknologi Informasi dengan sistem manajemen energi, telah diimplementasikan ke dalam proyek percontohan generasi pertama Smart Community di tahun 2000-an dengan syarat bahwa Jepang tertinggal dalam liberalisasi pasar listrik dibandingkan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Integrating Urban Data with Urban Services: Bab ini memberikan gambaran umum tentang arsitektur untuk mengintegrasikan informasi perkotaan. Menggambarkan bagaimana informasi perkotaan harus terintegrasi dan bagaimana integrasi ini dapat menghasilkan optimalisasi layanan secara kolektif. Integrasi informasi spasial dan temporal merupakan pendekatan awal untuk arsitektur integrasi sosial dan teknis. Komponen yang harus ditingkatkan adalah kepuasan pengguna, dimana pengguna adalah individu dan bisnis di kota. Selanjutnya, tiga saluran utama untuk mengintegrasikan informasi adalah: a). seperangkat “Interface” yang memungkinkan sistem beroperasi secara simbiosis. Secara khusus, ini menunjukkan antarmuka perancangan yang memungkinkan bisnis dan layanan untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain sehingga semuanya beroperasi tidak hanya secara independen tetapi juga sebagai bagian dari sistem organik yang lebih besar. b). seperangkat sistem sosial yang mengkalibrasi ulang hak dan tanggung jawab terkait penggunaan, pengelolaan, dan perlindungan data. Teknologi yang dapat memungkinkan organisasi untuk menggunakan informasi pribadi tanpa mengorbankan privasi data dan prinsip-prinsip data diperkenalkan. c). ukuran kualitas hidup (QoL) bahwa mengukur kualitas hidup menggunakan penginderaan manusia.

Solving Social Issues Through Industry–Academia Collaboration: Bab ini fokus pada pekerjaan peneliti dari bidang teknik. Bab ini membahas bagaimana para peneliti tersebut mengejar R&D, juga membahas pemikiran dasar yang mendasari proyek penelitian yang bertujuan menangani masalah sosial, termasuk yang terkait dengan populasi, kebutuhan untuk menjadi bebas karbon, dan kebutuhan untuk meregenerasi masyarakat pedesaan.

From Monetary to Nonmonetary Society: Bab ini membahas dampak inovasi yang tidak terikat terhadap ekonomi dan faktor-faktor yang mendukung kegiatan ekonomi yang tidak terikat, dan mendekati keuntungan dan masalah platform digital yang akan dipasang dalam sistem ekonomi masyarakat yang digerakkan oleh data.  Kemudian bagaimana menyelesaikan masalah masyarakat tentang penggunaan uang tunai yakni penggunaan uang non tunai untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dengan berbasis data. Ini menunjukkan dua jenis kemungkinan masalah: menentukan harga informasi yang tak ternilai dan mengelola data pribadi tanpa nama dalam masyarakat tanpa uang tunai, yang memungkinkan untuk diwujudkan oleh mata uang digital.

Interview: Creating Knowledge Collaboratively to Forge a Richer Society Tomorrow—An Innovation Ecosystem to Spearhead Social Transformation: Bab ini membahas tentang dialog Makoto Gonokami dari Universitas Tokyo dan Hiroaki Nakanishi dari Hitachi, keduanya anggota Dewan Strategi Pertumbuhan sosial Kabinet Jepang. Ketika masalah sosial di dalam dan luar negeri tumbuh semakin kompleks dan beragam, Pemerintah Jepang mengejar visinya tentang Society 5.0, masyarakat super smart yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial dan di mana semua orang dapat hidup nyaman. Sementara itu, PBB telah mengadvokasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) untuk mengatasi tantangan global dan telah meminta industri untuk berkontribusi pada SDGs melalui kegiatan bisnis

Issues and Outlook: Sebagai bagian akhir, bab ini membahas tujuan dan masalah dalam proses mewujudkan Society 5.0 dari sudut pandang kebahagiaan manusia dalam menyelaraskan dengan masyarakat, dan diakhiri dengan meninjau pentingnya Society 5.0 serta pandangannya sebagai kebijakan untuk masyarakat berbasis data yang dipromosikan oleh revolusi digital. Bagian ini juga membahas tentang isu-isu tentang kebahagiaan masyarakat berbasis data dan menunjukkan bahwa perlu untuk memperjelas pendekatan di mana setiap orang akan dapat memperoleh kebahagiaannya sendiri dengan menyetujui data- implementasi teknologi yang didorong dan harmonisasi dengan masyarakat berbasis data. Bab ini juga merangkum makna sosial dan signifikansi Society 5.0 sebagai visi yang berasal dari Jepang yang ditujukan dengan penerapan teknologi digital canggih di luar gagasan kota pintar konvensional. Oleh karena itu, diakhiri dengan penekanan pada pentingnya berbagi konsep “people-centric” untuk mewujudkan solusi masalah sosial dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana disebutkan dalam definisi asli Society 5.0 dalam Strategi Komprehensif Sains, Teknologi dan Inovasi tahun 2017.

Friday, July 22, 2022

RUANG ABSOLUT EKSPERIMENTAL DAN RUANG SOSIAL BUDAYA

Ruang absolut eksperimental dalam geografi disebut juga denga ruang fisik Sedangkan Ruang sosial budaya bisa juga disebut Ruang Ekologi, khususnya ekologi manusia berkenaan dengan interelasi antara manusia dengan lingkungannya yang membentuk suatu sistem ekologi atau ekosistem. Prinsip dan konsep yang berlaku pada bidang ilmu ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan geografi dalam memandang aspek ruang. Menurut ekologi, ruang dipelajari, ditelaah dan dianalisis sebagai sesuatu gejala atau sesuatu masalah dengan menerapkan konsep dan prinsip ekologi (Sumaatmadja, N. 1981). 


Ruang menurut ekologi sebagai suatu bentuk ekosistem hasil hubungan dan penyesuaian antara penyebaran dan aktivitas manusia dengan lingkungannya pada area atau daerah tertentu. Jadi dalam hal ini, interelasi manusia dengan alam lingkungan di sekitarnya dikaji berdasarkan konsep dan prinsip ekologi, atau dengan perkataan lain dengan menggunakan pendekatan ekologi. Sebagai sebuah ekosistem, suatu ruang dipandang atau diarahkan kepada hubungan antara manusia sebagai makhluk hidup dengan lingkungan alamnya. Pada pendekatan ekologi suatu daerah pemukiman ditinjau sebagai suatu bentuk ekosistem hasil interaksi penyebaran dan aktivitas manusia dengan lingkungan alamnya. Demikian pula jika kita mengkaji daerah pertanian, daerah perindustrian, daerah perkotaan dan lain-lain sebagainya (Bintarto, R dan Hadisumarno, S. 1987).


Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan perbedaan ruang absolut eksperimental dan ruang sosial budaya adalah sebagai berikut:


ASPEK

Ruang Absolut Eksperimental

Ruang Sosial Budaya

Pengertian

-Ruang fisik yang ada di permukaan bumi

Ruang yang mengkaji hubungan antara manusia sebagai makhluk hidup dengan lingkungan alamnya

Contoh

Laut, sungai

Pedesaan, Perkotaan

Wednesday, July 20, 2022

Pengembangan Kepedulian Terhadap Lingkungan


Pengembangan kepedulian anak terhadap lingkungan pada gambar di atas dibagi dalam tahapan pertumbuhan usia anak yakni masa balita, masa prasekolah, masa sekolah dan usia remaja keatas. Tahapan perkembangan ini sejalan dengan perkembangan  kognitif anak menggambarkan tingkat kemampuan anak dalam berpikir. Menurut Piaget yang dikutip dalam Yudha M. Saputra dan Rudyanto (2005: 162), “perkembangan kognitif anak terbagi menjadi 4 tahapan yaitu, sensorimotor (0-2 tahun), praoperasional (2-7 tahun), operasional konkrit (7-11 tahun) dan operasional formal (11-6 tahun).

Anak yang berada pada tahap “infancy” atau masa sensorimor (0-2 tahun), dimana masa ini anak belajar mengenal lingkungan melalui sensorimotor. Belum ada pengetahuan yang dibangun. Tahap ini anak atau bayi belajar tentang diri dan dunia mereka dengan mengembangkan aktivitas sensori dan motor mereka. Bayi merespon melalui gerakan-gerakan dan tindakan fisik yang dilakukan pada mereka. Jenis sistem referensi dan representasi topografi yang digunakan masih pada tahap egosetrisme, yakni anak mengasumsikan bahwa semua orang lain berfikir, mempersepsi dan merasa hal yang sama dengan mereka. 

Tahapan selanjutnya adalah ”Preschool”  atau pra-operasional (2-7 tahun). Tahap praoperasional (praoperational stage), merupakan tahap masa kanak-kanak awal dari perkembangan kognitif karena anak pada usia ini belum siap untuk melakukan operasi mental yang logis, yang mana baru bisa mereka lakukan pada saat mencapai tahap konkret operasional pada masa kanak-kanak. Tahap ini berlangsung pada usia sekitar 2 hingga 7 tahun. Yang ditandai oleh ekspansi yang besar dalam penggunaan pemikiran-pemikiran simbolis, atau kemampuan representasi yang pertama kali muncul pada akhir thap sensorimotorik.  Berikut beberapa kemajuan-kemajuan kognitif dan aspek-aspek ketidak matangan pemikiran praoperasional. Pada tahap ini, pengenalan terhadap lingkungan juga mengikuti perkembangan mental si anak baim itu pengembangan pengetahuan umum, tingkat pengetahuan spasial, akan dibangun, dan jenis sistem referensi dan representasi topografi.

Tahapan yang selanjutnya adalah “Middle Childhood” atau operasional konkrit (7-11 tahun). Pada masa ini anak mampu berpikir secara analisis dan sintesis, deduktif dan induktif (mampu berpikir bagian per bagian), 2) perkembangan sosial, anak mulai ingin melepaskan diri dari orangtuanya. Anak sering bermain di luar rumah bergaul dengan teman sebayanya, 3) anak mulai menyukai permainan yang melibatkan banyak orang dengan saling berinteraksi, 4) perkembangan emosi anak mulai berbentuk dan tampak sebagai bagian dari kepribadian anak. Dengan demikian perkembangan kepedulian anak terhadap lingkungan juga berkembang bersamaan dengan perkembangan pola pikir kognitif anak.

Tahapan terakhi adalah “Adoleiscence and Beyond” atau pada tahap remaja, umur sebelas tahun keatas. Pada masa ini pengembangan pengetahuan umumnya berkembang dengan pesat, dimana anak pada usia ini sudah bisa berfikir abstrak. Tingkat pengetahuan pada spatial sudah berada pada konsep formal. Pada usia ini ditandai dengan anak lebih aktif bertanya kepada Anda mengenai banyak hal. Hal ini disebabkan anak mungkin mulai memiliki ketertarikan pada banyak hal secara bergantian. Tingkat pengenalan terhadap lingkungan sudah bisa membedakan ruang atau spatial.

 

Daftar Sumber:

D.E.,Olds, S.W., & Feldman R.D. Karta: Erlangga. (2009). Human Development, edisi 10 Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.

Dian Andesta Bujuri. 2018. Analisis Perkembangan Kognitif Anak Usia Dasar dan Implikasinya dalam Kegiatan Belajar Mengajar. LITERASI, 9(1), 37-50.


Sunday, July 17, 2022

RASIONALISME DAN EMPIRISME


Dalam kajian filsafat, permasalahan skeptiszme dibagi menjadi dua yaitu: rasionalisme dan empirisme. Pada sub bahasan ini akan dijabarkan pengertian rasionalisme dan empirisme. Pertama, rasionalisme berasal dari saduran bahasa Inggris rationalism. Secara etimologi, kata ini berakar dari bahasa Latin ratio yang berarti “akal” (Bagus, 2002). Dalam konteks yang lebih luas, akar dari makna rasionalisme merujuk pada satu pandangan, dimana berpegang “akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran”. Rasionalisme dipahami menurut kaumnya sebagai satu pernyataan aksioma dasar yang digunakan untuk membangun sistem pemikiran yang diturunkan dari “ide (idea)”. Ide yang dimaksud harus jelas, tegas, dan pasti berasal dari pemikiran manusia (James, 2010; Kattsoff, 2004).

Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide, karena ide berasal dari akal. Akal mampu membawa manusia kepada satu titik pengetahuan yang sebenarnya (tidak mungkin salah). Demikian, ide sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia (Magnis, 2002). Kaum rasionalis mengenal berdalil bahwa pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada (Susanto, 2011). Oleh karena itu, jika prinsip itu tidak ada, maka manusia (orang) tidak mampu menggambarkannya. Dalil ini adalah sesuatu yang a priori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut (Tjahjadi, 2004).

Berdasarkan perkembangannya, pandangan ini dipaparkan oleh berbagai tokoh dengan ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis seperti Plato sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai “Rasionalisme atau PlatonismeRené Descartes (1590 – 1650) dengan semboyanyang terkenal adalah “cotigo ergo sum” (saya bepikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J. Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723 – 1790), Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza (Asmoro, 2005; Roger, 1986).

Kedua, empirisme berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata ini berakar pada makna yang diambil dari bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk” (Bagus, 2002). Empirisme merupakan satu pandangan dimana pengetahuan keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera. Paham ini menjadi titik balik dari pandangan rasionalisme, dimana Plato berpendapat bahwa “yang ditangkap panca indera hanyalah dunia gejala, yang semu, yang tidak nyata dan tidak sempurna” (Kattsoff, 2004). 

Kaum empiris memaparkan bahawa pengetahuan yang pasti benar adalah pengetahuan indrawi, pengetahuan empiris. Panca indera memainkan peranan terpenting dibandingkan dengan akal budi karena, Pertama, semua proposisi yang kita ucapkan merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman. Kedua, kita tidak bisa punya konsep atau ide apa pun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi jika punya acuan ke realitas atau pengalaman (Akhmadi, 2007; Honer & Hunt, 2003).  

John Locke dalam bukunya “An Essay Corcerning Human Understanding” dipaparkan bahwa semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia, sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia. Konsep atau ide-ide ini diperoleh dari pancaindra atau dari refleksi atas apa yang diberikan oleh pancaindra. Jiwa manusia adalah tabula rasa, maka kalau kita punya konsep atau ide tertentu tentang dunia ini, itu harus dianggap sebagai ide yang keliru. Terdapat dua macam ide menurut Locke yakni ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana ditangkap melalui panca indera secara langsung (spontan). Melalui akal ide sederhana memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang diberikan pancaindra, dan seterusnya, sehingga lahirlah refleksi yang memungkinkan adanya ide-ide yang lebih kompleks.

Locke menyimpulkan bahwa ide sederhana tidak bisa keliru sedangkan ide-ide kompleks bisa saja keliru. Tokoh lain dari kaum empiris adalah David Hume. David Hume melalui bukunya yang berjudul “An Enquiry Concerning Human Understanding” memaparkan pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal. Melalui naluri ilmiah manusia, manusia bisa mencapai kepastian-kepastian yang memungkinkan pengetahuan manusia. Terdapat dua proses mental dalam diri manusia (Honer & Hunt, 2003).

Pertama, adalah kesan (impresi), yang merupakan semua macam pencerapan pancaindra yang lebih hidupdan bersifat langsung. Kedua, pemikiran atau ide yang kurang hidup dan kurang bersifat langsung. Impresi memunculkan ide sederhana dari objek yang kita tangkap dengan pancaindra secara langsung yang selanjutnya akal budi manusia mampu melahirkan ide majemuk yang tidak kita tangkap melalui pancaindra. David Hume memberikan satu sintesis yang sama dengan paparan John Locke bahwa pengalaman mampu membawa manusia kepada satu pengetahuan yang baru. Berikut tabel perbedaan pandangan rasionalisme dan emipirisme.  

ALIRAN MODERNISME DAN POSTMODERNISME

Modernisme berasal dari kata “modern” bahasa latinnya “modernus” yang artinya sekarang. Menurut Hassan Hanafi modernisme berisi rasionalisme kebebasan demokrasi pencerahan dan humanisme. Modernisme merupakan periode yang mengafirmasi keeksistensian manusia, berdasarkan logika yang bersumber dari daya nalar pemikiran. Sikap dan cara berfikir yang disesuaikan dengan tuturan zaman. Modernisme didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk memperoleh pengetahuan. Rasio Manusia dianggap mampu menyelami kenyataan faktual menemukan hukum-hukum mapun dasar-dasar essensial dan universal dari kenyataan yang bermuara pada postmodernisme. Menurut Durkheim menyatakan bahwa modernitas didefinisikan oleh solidaritas organis dan melemahnya kesadaran kolektif (dalam Wiriadmadja, 2015: 55). Marx melihat modernitas dari kaca mata ekonomi kapitalis. Pendapat lain menyatakan bahwa Modernisme adalah sebuah proses yang terus berlangsung dari masa ke masa dan menghasilkan berbagai produk berupa pola hidup, kebudayaan dan banyak aspek lainnya (Husain, 2017:88). 

Modernisme diidentikkan dengan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan pergeseran paradigma. Berdasarkan pengertian 4 5 Modernisme menurut para ahli di atas maka disimpulkan penulis bahwa modernitas merupakan sebuah aliran yang menggunakan pemikiran rasional yang bersumber dari daya nalar manusia dalam aktivitas kehidupan. 

Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritikan, yakni dari gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan permasalahannya.(Muhlisin, 2017: 1). Pencetus pemikiran postmodernist pertama kali adalah Arnold Toynbee pada tahun 1939. sedangkan Charles Jencks2, menegaskan juga bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis.

Definisi postmodernisme menurut beberapa ahli, Leahy menyatakan bahwa postmodernisme adalah suatu gerakan dari gagasan atau ide yang menjelaskan serta menggantikan ide-ide pada zaman modern (Leahy, 1985:271). Emmanuel menyatakan bahwa postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi kembali paradigma modern (Emmanuel, 2006:93). Pendapat lain disampaikan oleh Akhyar bahwa postmodernisme merupakan pergeseran wacana di berbagai bidang seperti seni, arsitektur, sosiologi, sastra, dan filsafat yang bereaksi keras terhadap wacana modernisme (Akhyar, 2011:13). Menurut Lyotard, postmodernisme adalah sebuah periode ketika ketidakpercayaan pada narasi-narasi raksasa yang bersifat universal dan esensial semakin gencar (Lyotard dalam akhyar, 2011:14). Sedangkan menurut Ghazali dan Efendi bahwa postmodernisme mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya (Ghazali & Efendi, 2009:161). Berdasarkan pendapat ahli di atas maka postmodernisme adalah sebuah paradigma baru yang merevisi pemikiran modernisme.

Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan sains. Postmodern memiliki ide cita-cita, ingin meningkatkan kondisi sosial,budaya dan kesadaran akan semua realitas serta perkembangan dalam berbagai bidang. Postmodern mengkritik modernisme yang dianggap telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide di berbagai bidang ilmu dan teknologi, dengan pengaruhnya yang mencengkram kokoh dalam bentuknya globalisasi dunia.

Dengan lahirnya aliran postmodernisme maka muncul istilah-istilah baru yang menggantikan modernisme, berikut perbedaan istilah modernisme dan postmodernisme menurut Maksum (2014:348) dalam bukunya: 



 

Thursday, July 14, 2022

Bagaimana Pengembangan Paradigma Baru untuk Revitalisasi, Inovasi Pendidikan IPS dalam Pengembangan Generasi Emas Indonesia 2045 ?

 



Tahun 2045 bangsa Indonesia akan memasuki usia kemerdekaannya yang ke-100. Pada saat itu Indonesia berada di tahun emas, dengan generasi emas Indonesia. Pada Tahun Emas itu Bangsa Indonesia diharapkan sudah menjadi bangsa yang maju dalam berbagai bidang, baik sains dan teknologi maupun ekonomi, serta mampu mengatasi berbagai permasalahan, baik kemiskinan maupun ketertinggalan dalam bidang pendidikan (BNSP, 2020). Hal ini menjadi tantangan bagi pendidikan IPS untuk mewujudkan generasi Emas Indonesia tahun 2045. Harus ada perubahan atau pengembangan paradigma pendidikan, revitalisasi kurikulum dan adanya inovasi pendidikan IPS.

Refleksi pengalaman subyektif kajian dengan epistemologi dan paradigmatik memperkokoh eksistensi dan mutu Pendidikan IPS selama ini. Hal itu terutama dalam upaya memahami arah revitalisasi sebagai pendidikan nilai sosial budaya Indonesia. Mengembangkan paradigma baru dalam pendidikan IPS tidak terlepas dari fenomena-fenomena atau permasalahan yang terjadi. Seperti yang dijelaskan oleh Al Muchtar (2019) ditemukenali sejumlah fenomena dan fakta empirik yang menjadi latar masalahannya adalah sebagai berikut:

 

  1. Perubahan sosial budaya sangat cepat dan menyentuh perubahan sistem nilai, sehingga mempengaruhi terhadap intensitas masalah sosial budaya. Kompleksitas masalah sosial budaya semakin menguat memicu terjadinya situasi turbulensi. Situasi seperti itu merupakan latar sosial budaya pendidikan IPS, merupakan tantangan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan IPS baik dalam tatanan nasional hingga global. Demikian pula dalam pengembangan pemikiran paradigmatik bagi pengembangan sistem pendidikan guru IPS di perguruan tinggi.
  2. Dalam tataran global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informatika dan komunikasi sangat besar pengaruhnya. Namun dalam ilmu sosial termasuk Pendidikan IPS tertinggal oleh cepatnya perubahan tersebut sehingga mengakibatkan krisis teori konstekstual yang diperlukan dalam memecahkan masalah yang semakin rumit. Kondisi ini hendaknya dijadikan dasar dan orientasi bagi pengembangan epistemologi Pendidikan IPS.
  3. Kesemrawutan masalah sosial budaya diilustrasikan sebagai situasi turbulensi, yang memerlukan tindakan tindakan alternatif strategis untuk dapat menyelamatkan dari krisis sosial budaya dan peradaban. Pendidikan IPS ditantang mampu membangun masyarakat yang memiliki kecerdasan sosial untuk membangun budaya dan peradaban bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 yaitu cita-cita mencerdaskan kehidupan bermasyarakat bernegara dan berbangsa. Untuk mewujudkannya merupakan tantangan sekaligus arah bagi revitalisasi pendidikan IPS dan lembaga pendidikan guru IPS di perguruan tinggi. Untuk itu diperlukan paradigma baru pendidikan untuk merevitalisasi pendidikan IPS yang powerful sebagai modal sosial (social capital). Diperlukan upaya memperkuat posisi dan peran sebagai sarana utama dalam mencerdaskan kehidupan sosial. Melalui kajian epistemologis Pendidikan IPS untuk membangun paradigma keilmuan pendidikan IPS profetik dalam membangun SDM sebagai makhluk sosial yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Dekade terakhir dalam bidang filsafat ilmu terjadi perubahan dengan munculnya neo positivisme dan neostrukturalisme yang memberikan peluang bagi ilmu-ilmu sosial termasuk Pendidikan IPS untuk melakukan revitalisasi epistemologi‖ dalam membangun jati dirinya. Termasuk bagi penataan hubungannya dengan disiplin ilmu lainnya, terutama dalam membangun sosok keilmuan yang bergerak dari tradisi pendekatan disipliner yang dominan ke arah interdisiplin, multidisiplin dan interdisiplin, bahkan lintas bidang keilmuan (crossdiscipline). Demikian pula dalam bidang penelitian munculnya pendekatan naturalistik inkuiri yang diunggulkan dalam ilmu ilmu sosial dan studi sosial serta humaniora dan dalam bidang keberagamaan dan dalam ilmu keguruan muncul model Penelitian Tindakan Kelas (PTK) serta Lesson Studies dan dan SST dan STEM dalam Pendidikan IPA dan lainnya.
  5. Perubahan nilai-nilai lokal nasional terjadi seiring dengan perubahan tatanan global melahirkan sejumlah isu-isu global, yang menuntut perhatian untuk dijadikan salah satu pendekatan dalam upaya memperkuat Pendidikan IPS di Indonesia. Namun demikian tujuan utamanya adalah untuk memperkuat, makna Pendidikan IPS dalam sistem pendidikan nasional, termasuk dalam kaitannya dengan pengembangan sistem pendidikan guru IPS.
  6. Pendidikan IPS di Indonesia dihadapkan pada tantangan memperkuat landasan filosofis teoritis dalam Pengembangan Kurikulum IPS. Sesuai dengan perkembangan sistem sosial budaya dan masyarakat Indonesia. Serta perkembangan masyarakat dunia dalam perspektif global. Termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kajian selama ini lebih kuat berorientasi pada disiplin keilmuan, yang didominasi pemikiran keilmuan dan mengabaikan aspek nilai-nilai. Dalam praktik pengembangan pembelajaran masih berpusat pada guru yang memperkuat budaya mengajar dari pada budaya belajar. Pemikiran revitalisasi mestinya ditandai transformasi dari “teaching” kepada “learning” dari penguasaan konten kepada penguasaan peserta didik. Implikasinya perlu dibangun paradigma baru dalam perspektif global ke arah membangun Pendidikan IPS sebagai pendidikan nilai-nilai Pancasila dalam perspektif global dan dijadikan dasar paradigma dalam membangun sistem dan model pendidikan guru IPS di LPTK di Indonesia.

 

Tantangan-tantangan pendidikan IPS di atas, sejalan dengan tuntutan keterampilan pada tahun 2024 yang tertuang dalam buku Arah Kompetensi 2045 yang menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam perspektif global dalam Ali (2015) yakni : (1) Pengembangan diri peserta didik (personal development), (2) Pengembangan kompetensi untuk bekerja (employability or work competencies development), (3) Pengembangan kewarganegaraan (citizenship), dan (4) Transmisi dan transformasi budaya (transmission and transformation of culture). Sehingga arah kompetensi akan dikembangkan sesuai konstruksi kompetensi mencakup pengetahuan, kecakapan, sikap dan komitmen akan nilai yang dibutuhkan oleh setiap individu atau anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia kerja dan menjadi anggota masyarakat yang produktif.

Untuk itu diperlukan perubahan cara pandang atau paradigma pendidikan IPS sehingga bisa di revitalisasi dan adanya inovasi dalam pembelajaran IPS di Era digital ini.  Kemudian dikuatkan oleh Al Muchtar (2019) bahwa Diperlukan paradigma baru pendidikan untuk merevitalisasi pendidikan IPS berdaya guna penuh nilai dan makna kuat “powerfull” sebagai modal sosial. Pendidikan IPS diperlukan upaya memperkuat posisi dan peran pendidikan IPS untuk mencerdaskan kehidupan sosial. Untuk itu diperlukan kajian epistemologis pendidikan IPS untuk membangun paradigma keilmuan bagi peningkatan mutu dan peran Pendidikan IPS dalam membangun watak, pengetahuan dan keterampilan sosial peserta didik sebagai makhluk sosial yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Dengan mengubah paradigma pendidikan IPS untuk membangun epistemologi menjadi keterampilan penting yang harus dimiliki oleh pendidik untuk menyambut generasi Emas tahun 2045.

Selanjutnya Paradigma revitalisasi pendidikan IPS berbasis Kearifan lokal juga menjadi bagian penting dalam pendidikan IPS. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang cepat menyebabkan dunia menyusut dan tanpa batas (borderless word). Semua wilayah dan negara di dunia saling terhubung dan terkoneksi yang menyebabkan lunturnya identitas suatu bangsa (Ohmae, 2005; Goldsmith,2006; Hermawanto,2020). Perubahan ini dinamakan era globalisasi, sepertinya disampaikan oleh Giddens (1990:64)  bahwa globalisasi merupakan suatu proses intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas seluruh dunia. Pendapat yang senada disampaikan oleh R. Robertson (1992:2) bahwa globalisasi suatu proses intensifikasi kesadaran dunia sebagai suatu keseluruhan. Berdasarkan pendapat ahli disimpulkan bahwa bahwa globalisasi ini yang menjadikan masyarakat dunia tanpa batas atau yang dikenal dengan borderless Society.

Kritikan dan ketakutan banyak pihak tentang kehilangan nilai-nilai karakter bangsa, oleh karena itu pembelajaran IPS harus mampu memperkuat karakter bangsa ditengah arus globalisasi dan borderless society semakin menipiskan sekat nilai kebangsaan. Pengembangan karakter bangsa yang utama adalah nilai Pancasila. Seperti yang diterangkan oleh Al Muchtar (2019) bahwa proses pembelajaran Pendidikan IPS kurang menyentuh pengembangan berfikir dan nilai, akibatnya tidak membantu dalam mengembangkan kemampuan dan sikap rasional dalam menentukan nilai sosial budaya untuk memperkuat kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam merespon tantangan perubahan kehidupan sosial.

Untuk itu, pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan IPS yang berorientasi pada pengembangan nilai-nilai kearifan lokal pada hakikatnya adalah upaya untuk memenuhi  peningkatan mutu proses pembelajaran pendidikan IPS yang dilakukan terus menerus, untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan IPS. Berikutnya, perubahan sosial budaya yang terjadi dan melembaganya nilai-nilai kearifan lokal merupakan latar belakang dan sumber pembelajaran IPS. Implikasinya inovasi berarti peningkatan penyempurnaan dan pembaharuan inovasi dalam proses pembelajaran terjadi dengan menjadikan nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dan melembaga dalam kearifan lokal dijadikan latar belakang dan sumber pembelajaran nilai dalam pendidikan IPS, serta krisis pendidikan nilai dalam pendidikan IPS harus mampu direvitalisasi dengan pendidikan IPS sebagai pendidikan dan pembelajaran yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal. Inovasi pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal yakni dengan menjadikan konten pembelajaran diambil dari lokalitas di lingkungan peserta didik sehingga karakter bangsa akan tetap melekat pada seseorang walaupun ditengah disruption yang kian melanda.

Selain revitalisasi berbasis kearifan lokal, diperlukan juga paradigma revitalisasi pendidikan IPS dalam perspektif global. Dimana tantangan-tantangannya sudah dituliskan pada bagian awal, bahwa perubahan yang sangat cepat dan isu-isu global menjadi kajian hangat dan penting dalam pendidikan IPS.  Gagasan tentang keterampilan abad 21 dikeluarkan oleh Pacific Policy Research Center (dalam zusmelia, dkk 2017) terdiri dari a). Communication and Collaboration, b). Critical thinking and problem solving, c). Creativity and innovation. Kemudian National Education Association (NEA) keterampilan abad 21 yang harus dimiliki oleh siswa adalah 4C yakni Communication, collaboration, Critical thinking and problem solving, creativity and innovation (Siska, 2019). Keterampilan abad 21 diimplementasikan dalam kurikulum 2013 dengan melakukan perubahan tertuang dalam permendikbud nomor 20 tahun 206 tentang kemampuan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan abad 21 sehingga mampu bersaing menuju masyarakat dunia tanpa batas. Terakhir, pengembangan paradigma baru dalam pendidikan IPS yaitu paradigma revitalisasi pendidikan IPS dalam Era Revolusi Industri 4.0 dan sedang memasuki Society 5.0.

Tuesday, July 12, 2022

Filsafat Pendidikan Pengetahuan Ilmu Sosial

 


Filsafat Pendidikan Pengetahuan Ilmu Sosial dapat disimpulkan bahwa mengandung prinsip pendidikan yang mempunyai tujuan (Perennialism); prinsip kesinambungan pengalaman kebudayaan (Essentialism) dalam kehidupan dan prinsip bahwa proses budaya dimungkinkan oleh tindakan ”intelligence reflective thinking”  serta bagian dari integral dalam proses pendidikan sosial (Progressivism). Secara aksiologi bahwa pendidikan menekankan pada aktivitas yang memiliki nilai dan makna serta ditransformasi kepada peserta didik. Aktivitas tersebut dilakukan juga dengan menginternalisasikan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, makna yang terdapat secara aksiologi meliputi simbolik, emperic, esthetic, synetic, ethics and synoptics. Makna pada symbolic meliputi pendidikan bahasa, matematika. Empiris meliputi lingkungan fisik (kimia, fisika biologi,) dan lingkungan sosial, lingkungan psikologi dan budaya. Esthetic meliputi musik , satra, seni gerak Synnoetic meliputi drama, pembahasan tentang film dan berbagai jenis cerita. Ethics yakni pendidikan kesadaran untuk menghormati dan mematuhi secara sukarela norma dan nilai – nilai yang ada. Synoptics yakni pendidikan yang berkaitan dengan sejarah, filsafat dan agama yang dimaksudkan sebagai bekal mengintegrasikan seluruh pengetahuan yang dimiliki. Hal ini yang mendorong peserta didik bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi secara inovatif dan kreatif. Berdasarkan tinjauan filosofis, kajian Pendidikan IPS dibangun secara sinergis, integratik, dan  sistemik yang mampu merefleksikan ”realitas dinamis” dari Pendidikan IPS. Secara teoritik  pengkajian integratif sangat penting dan mendasar untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami fenomena sosial. Oleh sebab itu, peserta didik bisa membaca dan memahami makna sosial yang terjadi.

Filsafat Pendidikan Pengetahuan Ilmu Sosial secara Ontologis menekankan bahwa pendidikan harus dilakukan secara konsisten dan memandang manusia sebagai makhluk yang rasional serta sadar akan nilai. Secara ontologi peserta didik diajarkan dalam mengembangkan kemampuan penalaran secara rasional, analitis dan kritis. Peserta didik diajarkan berpikir secara logika yang mampu berperan dan merespon persoalan kehidupan masa depan. Filsafat Pendidikan Pengetahuan Ilmu Sosial secara ontologi lebih melihat bahwa peserta didik memiliki pandangan yang tidak hanya masa sekarang akan tetapi masa yang akan datang. Secara tidak langsung peserta didik mampu berperan dan merespon kehidupan terutama dalam menghadapi tantangan pada tahun 2045 yang merupakan 100 tahun Indonesia merdeka atau disebut Indonesia emas. 

Filsafat Pendidikan Pengetahuan Ilmu Sosial secara Epistemologis menekankan bahwa para peserta didik dan pendidik perlu memahami ilmu yang dikembangkan berdasarkan ajaran agama dan dikembangkan oleh manusia dengan pemanfaatan indera dan intelektualitasnya. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan IPS mengajarkan pada sumber pengetahuan yang diperoleh dan merenung tanda-tanda kekuasaan Tuhan untuk dijadikan pembelajaran termasuknya pedoman kehidupan. Oleh sebab itu, terdapat tujuan pendidikan nasional yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”


Monday, July 11, 2022

Paradigma Konstruktivisme Sosial

            Paradigma konstruktivisme sosial terkait dengan metode penelitian kualitatif, yang memberikan asumsi bahwa individu memahami dunia dimana mereka bekerja dan hidup atas pengalaman yang dimiliki serta mencari kompleksitas pandangan dari sejumlah kategori dan gagasan (Creswell, 2010). Ketika melakukan penelitian, si peneliti mengutamakan pandangan, pengalaman dan makna dari individu atau kelompok yang dilandasi dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Hal tersebut tentunya untuk menjawab atas tujuan penelitian dari sebuah kegiatan penelitian. Pertanyaan yang diajukan harus bersifat luas sehingga kedalaman data semakin baik dan memahami makna bersifat objektif. Paradigma ini cenderung kepada pendekatan kualitatif sebagai salah satu untuk melakukan metode penelitian.

            Paradigma konstruktivisme dilandasi pemikiran dari pada kepercayaan dan keaslian antara peneliti dengan objek penelitian. Dalam melihat paradigma konstruktivisme hal yang utama dilihat adalah kepercayaan dari dalam, garis kebenaran bisa dikembangkan, penegasan terhadap objektivitas, kemampuan untuk memperluas konstruksi konsepsi yang ada, kebenaran dalam mengadakan perbaikan, kemampuan dalam bertindak dan kemampuan untuk memberdayakan masyarakat (Salim, 2004).

           Pemahaman ini menyatakan bahwa makna tidak saja berada pada individu melainkan melalui interaksi dan peneliti memahami latar belakang historis dan kultural dari masyarakat yang diteliti. Pada paradigma ini peneliti harus memahami individu secara kompleks untuk dimaknai dalam kehidupan manusia itu sendiri. Ada tiga asumsi dari pada paradigma konstruktivisme sosial yaitu 1). Makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dalam dunia yang tengah ditafsirkan, sehingga pertanyaan terbuka untuk diungkapkan. 2). Manusia terlibat dalam memahami makna sehingga menafsirkan apa yang mereka cari, sebuah pembentukan oleh pengalaman dan latar belangkang mereka sendiri, 3). Yang menciptakan makna adalah lingkungan sosial dan munculnya berasal dari interaksi sosial (Creswell, 2010). 

PENDIDIKAN IPS SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER

  Pengertian dan Hakikat Nilai 1.      Pengertian Nilai Nilai merupakan sebuah dasar atau tolak ukur dalam bertingkah laku, bersikap dan...